Jauh dimasa lalu, Manusia dalam performanya di bidang rekayasa pertambangan dan pekerjaan rekayasa sipil harus mempunyai pengetahuan yang intuitif mengenai ilmu kebumian. Ketika itu para ahli rekayasa, terutama ahli sipil dan tambang, mendapatkan kesempatan untuk melihat dan mengeksplor batuan dan tanah hasil penggalian saat melakukan pekerjaan enjinering yang besar pada masa revolusi industri. Kegiatan itu melahirkan cikal bakal sains geologi, sehingga ilmu geologi tidak lepas dari aktifitas pekerjaan rekayasa pada abad ke-18.
Beberapa susunan dan pola alamiah menarik perhatian mereka yang melihatnya. Dari sana dimulailah spekulasi tentang asal batuan dan proses alamiah. Hubungan antar batuan dan pola susunan batuan yang serupa ditemukan di daerah yang berbeda. Ide dan teori mereka berkembang berdasarkan aplikasi yang mereka terapkan pada subjek tersebut, menghasilkan groundwork untuk pengembangan geologi sebagai sains. Para ahli seperti Evans (1700-1756) di Amerika, William Smith (1769-1839) di Inggris, Pierre Cordier (1777-1862) di Prancis dan lainnya adalah “bapak” ilmu Geologi.
Mereka sangat tertarik terhadap ilmu geologi dan acapkali mengakar pada need to know. Ketertarikan mereka semakin kuat ketika berkonfrontasi dengan masalah teknis akibat respon permukaan tanah yang nyata dari kegiatan enjinering. Secara efektif, beberapa masalah hanya dapat diselesaikan dengan pengetahuan dan pemahaman kondisi permukaan tanah pada lahan tersebut.
Pada abad ke-19 pengetahuan Geologi dan Rekayasa lanjut mulai diterima sebagai filsafat ilmu alam, menjadi bagian dari pendidikan. Penggunaan rekayasa geologi ditandai dengan pembangunan kanal dan rel kereta api yang dilakukan oleh Angkatan Laut Amerika. Namun disisi lain, ilmu geologi tetap nyata menjadi subyek praktis. Pemahaman teori suatu rekayasa didorong oleh masalah yang ditemui pada praktek rekayasa. Ketika itu ilmu rekayasa konstruksi tidak berkembang secepat rekayasa geologi. Sedangkan Ilmu para insinyur geologi berkembang saat dihadapkan oleh meningkatnya kesulitan tantangan rekayasa konstruksi, terutama masalah yang berhubungan dengan dinamika pada permukaan lahan. Ilmu Geologi berkembang sebagai sains dibawah kepemimpinan ahli geologi seperti James Dana (1813-1895) di Amerika, Albert Heim (1849-1937) di Switzerland dan Sir Archibald Geikie (1835-1924) di Inggris. Pada akhir abad ke-19 sebagian besar insinyur sipil mengetahui geologi relatif sedikit, dan sangat sedikit ahli geologi yang tertarik pada aplikasi rekayasa ini.
Sudut pandang geologi dan rekayasa sipil dapat dijembatani melalui pengembangan rekayasa ilmu mekanika tanah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Charles Coulomb dan Macquorn Rankine melakukan pengembangan metode perhitungan deformasi masa bumi dibawah stresses imposed melalui pekerjaan rekayasa. Lompatan besar ke depan terjadi ketika dipublikasikan “Erdbaumechanik” oleh Karl Terzaghi tahun 1925. Terzagi membawa pengetahuan lama dan menambahkan pengalaman serta teori baru untuk menetapkan mekanika tanah sebagai suatu disiplin ilmu teknik sipil.
Pada publikasi Terzagi berikutnya, dia terus menerus memberikan gambaran yang jelas tentang pentingnya pemahaman fundamental kondisi geologi pada pekerjaan desain dan konstruksi rekayasa sipil. Bagaimanapun juga, belum ada bukti apresiasi secara menyeluruh terhadap hasil pengembangan ilmu ini, beberapa insinyur terus melanjutkan penggunaan pengetahuan geologi seadanya yang kurang memadai bahkan seringkali terlalu menyederhanakan prilaku groundmodels.
Kegagalan pekerjaan rekayasa di beberapa bagian, seperti Austin Dam di Texas pada 1900 dan The St. Francis Dam di California pada 1928, menunjukkan ada kesenjangan apresiasi pada pentingnya kondisi geologi dalam rancangan rekayasa.
Kegagalan demi kegagalan memberi tekanan kepada para insinyur agar membutuhkan penilaian kondisi geologi pada rekayasa sipil sejak 1940an. Para insinyur sipil cenderung mempekerjakan geologis dengan kapasitas sebagai advisor. Charles Berkey di United States (Paige 1950) dan Quido Zaruba di Czechoslovakia (Zaruba dan Mencl 1976) menunjukkan bahwa dengan cara seperti itu tidak selamanya ada hubungan kesuksesan. Beberapa geologis mempunyai kemampuan pengetahuan rekayasa yang cukup sebagai tenaga ahli, walau ketika itu para ahli geologi yang berkecimpung dalam dunia rekayasa mendidik diri sendiri melalui beberapa studi dan pengalaman. Mereka lebih punya pemahaman geologi yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan performa rekayasa yang lebih baik ketimbang memanfaatkan pengetahuan geologi sebatas kulitnya saja. Walaupun mungkin muncul masalah persepsi, lambat laun pengenalan perilaku rekayasa yang saling terkait pada dua ranah ilmu rekayasa tersebut perlahan dibutuhkan untuk memberi masukan pada ilmu kebumian: Rekayasa Geologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar